Emisi gas rumah kaca akibat akumulasi aktivitas manusia telah berkontribusi nyata pada peningkatan pemanasan global (IPCC 2007). Perubahan simpanan karbon dalam ekosistem daratan sebagai akibat penggunaan lahan oleh manusia telah menjadi perhatian masyarakat dunia dalam kaitannya dengan isu (permasalahan) perubahan iklim. Pertanian secara luas diyakini sebagai salah satu penyebab utama deforestasi. Pengurangan emisi gas rumah kaca, khususnya karbon dari deforestasi dan upaya konservasi hutan alam, saat ini menjadi salah satu kunci pencegahan (mitigasi) perubahan iklim.
Hasil analisis Stern (2006) dengan jelas menyatakan bahwa menghindari deforestasi akan memberikan biaya yang terendah di antara opsi-opsi mitigasi meningkatnya emisi CO2 dan juga memungkinkan meningkatkan gudang karbon. Pada saat yang sama, berbagai manfaat lainnya, seperti pengurangan kemiskinan, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity), konservasi tanah dan air serta adaptasi terhadap perubahan iklim dapat ditingkatkan.
Cadangan karbon memiliki peran penting dalam ekosistem. Cadangan karbon dapat menghasilkan oksigen melalui proses fotosintesis yang dilakukan oleh vegetasi berklorofil. Vegetasi pohon merupakan salah satu penyimpan cadangan karbon terbanyak (Putri 2019). Menurut Aminudin (2008), batang pohon menyimpan 65% dari total cadangan karbon pada pohon. Ukuran diameter (dbh) yang semakin besar akan menghasilkan jumlah biomassa yang lebih besar, sehingga jumlah cadangan karbon yang dihasilkan juga akan semakin besar nilainya (Hikmatyar et al. 2015). Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan jumlah cadangan karbon adalah jenis pohon, kerapatan pohon dan faktor lingkungan seperti penyinaran matahari, kadar air, suhu dan kesuburan tanah (Sugirahayu dan Rusdiana 2011). Jumlah cadangan karbon meningkat seiring meningkatnya rentang diameter pohon (Putri 2019). Pengukuran cadangan karbon dapat dilakukan dengan cara non–destruktif dengan mengukur diameter batang pohon dan kemudian mensubstitusi nilai diameter ke persamaan alometrik yang telah tersedia. Tegakan pohon memiliki nilai kerapatan tajuk yang dapat diukur dengan pengukuran nilai Leaf Area Index (LAI). Menurut penelitian Zhang et al. (2014), nilai kerapatan tajuk, dalam hal ini LAI, dapat menjadi penduga yang baik untuk mengestimasi jumlah cadangan karbon. Lahan hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora-fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah tersebut bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan usaha lain, seperti pertanian.
Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih guna lahan tersebut (Fathurrohmah 2014). Agroforestri memiliki banyak keuntungan dan beberapa fungsi serta peran yang menyerupai hutan, baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi (Widianto et al. 2003). Sistem agroforestri pada pertanaman kopi secara efektif dapat mempertahankan jumlah mikoriza dalam tanah dibandingkan sistem monokultur (Muleta et al. 2008). Sistem agroforestri kopi yang bersifat kompleks memiliki peranan penting sebagai penyangga biodiversitas di atas permukaan tanah (O’Conor et al. 2005).
Cadangan karbon hutan alami di Jambi sebesar 500 ton/ha. Namun alih guna hutan menjadi lahan ubi kayu mengakibatkan penurunan cadangan karbon sebesar 72% (Hairiah & Rahayu 2007). Kopi sebagai salah satu komoditas perkebunan yang dikembangkan secara luas di Indonesia memiliki posisi strategis dalam usaha peningkatan penyerapan karbon untuk mengurangi laju pemanasan global. Luas lahan kopi di Indonesia pada tahun 2017 tidak kurang dari 1.251.300 ha dengan total produksi 667.000 ton (BPS 2017). Dengan luas lahan tersebut dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan karbon. Bentang alam di wilayah Jangkat Timur (Sungai Tenang), Merangin, Jambi, sebagian besar lahan hutan telah dikonversi menjadi lahan agroforestri berbasis kopi. Untuk mewujudkan terciptanya perkebunan kopi yang lestari dan berkelanjutan serta memiliki nilai ekonomis dan ekologis, maka perlu diikuti dengan penggunaan pohon naungan yang dapat menunjang keberhasilan tersebut. Perkebunan kopi di Cluster Jangkat Timur dan Cluster Koperasi Barokah diduga akan dapat membantu menyimpan cadangan karbon secara efektif jika ditanami dengan beberapa jenis pohon penaung yang memenuhi kriteria tersebut.
Adapun tujuan dari kegiatan studi literatur serapan karbon pada tanaman kopi dan tanaman pelindung kopi yang tepat, antara lain:
1. mengetahui estimasi potensi serapan karbon pada tanaman kopi dan tanaman naungan atau pelindung kopi di dua cluster yaitu cluster Jangkat Timur (Desa Baru dan Desa Gedang) Kecamatan Jangkat Timur, Kabupaten Merangin dan Cluster Koperasi Barokah, Kecamatan Jernih Jaya/Kayu Aro, Kabupaten Kerinci)
2. mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi serapan karbon pada tanaman kopi dan tanaman penaung kopi.
3. mengidentifikasi jenis tanaman pelindung atau naungan kopi yang tepat untuk turut berperan dalam proses serapan karbon dengan kriteria pohon pelindung (1) pohon yang tidak berdampak menurunkan produksi kopi, (2) pohon memberikan manfaat secara ekonomi bagi petani kopi (3) pohon dapat merangsang hadirnya satwa yang tidak menjadi menjadi hama bagi buah kopi dan mengancam keselamatan petani di kebun kopi.
Dari hasil kajian literatur yang dilakukan pada Oktober – November 2019 dapat di simpulkan bahwa;
1. Estimasi potensi serapan karbon pada tanaman kopi dan tanaman penaung kopi menurut literatur yang diperoleh antara lain, pada hutan tanaman Swietenia macrophylla memiliki potensi serapan karbon 64,1-166,6 (ton/ha), agroforestry Kopi tua 63,69 (ton/ha), agroforestry Kopi muda 27,9(ton/ha), hutan tanaman Eucalyptus sp. 75,89 (ton/ha), hutan pinus 161,38 (ton/ha), kebun campur (kemiri, durian, cengkeh, kayu manis, alpukat 99,00 (ton/ha), dan hutan tanaman mahoni 128,87 (ton/ha).
2. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi serapan karbon pada tanaman kopi dan tanaman penaung kopi, yaitu ukuran diameter (dbh) pohon, jenis pohon, kerapatan pohon dan factor lingkungan seperti penyinaran matahari, kadar air, suhu dan kesuburan tanah serta perhitungan biomassa pohon menggunakan persamaan alometrik berdasarkan spesies tanaman. Semakin besar ukuran diameter pohon, maka akan menghasilkan jumlah biomassa yang lebih besar, sehingga jumlah cadangan karbon yang dihasilkan juga akan semakin besar nilainya. Jumlah cadangan karbon akan meningkat seiring meningkatnya rentang diameter pohon.
3. Jenis pohon yang direkomendasikan sebagai pohon penaung Kopi antara lain, Lamtoro (Leucaena sp.), Flemingia congesta, Kaliandra (Calliandra calothyrsus), Gamal (Gliricida sp.), Suren (Toona sureni Merr), Eukaliptus (Eucalyptus sp.), Mahoni (Swietenia sp.), Rasamala (Altingia excelsa), Pinus (Pinus merkusii), Kayu afrika (Maesopsis eminii Engl), Kayu manis (Cinnamomum burmanii) dan Makadamia (Macadamia integrifolia).