Abu sisa pembakaran batu bara (fly ash and bottom ash atau lebih dikenal dengan singkatan FABA) seharusnya disimpan dengan kaidah keselamatan lingkungan. Namun, fakta yang terjadi abu sisa pembakaran dibuang sembarangan dan dibiarkan meracuni lingkungan tanpa pengelolaan sesuai aturan yang berlaku.
FABA saat masih dalam kategori limbah B3 saja sudah tidak dikelola dengan baik, bagaimana kalau sudah tidak kategori limbah B3?
Hampir seluruh PLTU yang ada di Sumatera tidak melakukan pengelolaan abu dengan baik seperti PLTU batu bara Pangkalan Susu di Sumatera Utara, PLTU batu bara Keban Agung Kabupaten Lahat, PLTU batu bara Tenayan Raya Riau, PLTU batu bara Ombilin Sumatera Utara, PLTU batu bara Teluk Sepang, PLTU Pangkalan Susu Sumut, PLTU Nagan Raya Aceh.
PLTU batu bara Keban Agung,Lahat abu sisa pembakaran dibuang ke dalam bekas lubang tambang eks PT MNP. Perusahaan sudah mendapatkan sanksi administratif paksaan pemerintah oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Sumatera Selatan. Namun sampai saat ini, abu tersebut masih di dalam tanah dan meracuni tanah dan sungai Lematang. Tidak hanya itu, di tempat penumpukan sementara pun, plastik kedap air (geomembrane) justru rusak dan sobek sehingga saat hujan turun, abu ikut mengalir ke sungai Lematang. Hampir 70% masyarakat Desa Muara Maung, Lahat sudah mengalami ISPA.
Di Bengkulu, berdasarkan laporan hasil pemantauan Kanopi Hijau Indonesia bahwa abu sisa pembakaran ditumpuk di TPS yang diduga tidak dikelola dengan baik. Truk pengangkut abu dari silo ke TPS tidak tertutup.
Lebih parahnya lagi di PLTU Ombilin, FABA ditumpuk sampai menggunung di belakang PLTU. Tidak hanya mencemari lingkungan juga meracuni masyarakat Sijantang Koto. Ditambah lagi, saringan penangkap abu (ESP) sudah lebih dari satu tahun mengalami kerusakan yang menjadikan desa dihujani abu batu bara.
Nelayan yang berada di pesisir Sungai Siak Pekan Baru merasakan dampak serupa yaitu hasil tangkapan ikan yang semakin hari semakin berkurang hingga profesi masyarakat pesisir Sungai Siak yang sebelumnya nelayan saat ini mencari ikan hanya sebagai pekerjaan sampingan.
Namun, saat ini kualitas air Sungai Siak diketahui mengalami penurunan. LBH Pekanbaru menemukan adanya penyakit baru dan penderita beberapa penyakit yang semakin meningkat akibat masih menggunakan air Sungai Siak sebagai kebutuhan sehari-hari.
Sementara di Pangkalan Susu, Sumut "Masyarakat mengeluh karena tingkat kasus ISPA meningkat tajam dan penyakit ini terus berulang mereka idap dan membuat pendapatan nelayan merosot," ujar Mimi Direktur YSL
Di tepi Sungai Batang Ombilin, Sumatera Barat, FABA menumpuk dan rawan masuk ke aliran sungai yang mengalir ke muara di Danau Singkarak. Tempat penumpukan FABA juga sangat dekat dengan permukiman masyarakat, menyebabkan abu rawan mencemari lingkungan sekitarnya. "Setiap hari pihak PLTU Ombilin harus menyiram jalan tersebut,” ujar Direktur LBH Padang, Wendra Rona Putra.
Gusrinal, warga Ombilin mengaku, makanan di rumahnya sering kali dipenuhi abu-abu yang beterbangan. Masuk ke rumah melalui ventilasi dan celah-celah rumah, lalu pakaian yang dijemur, dicuci (agar) bersih, namun kembali dikotori abu.
Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan, termasuk arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium ke badan lingkungan.Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar
Hasil uji laboratorium Baristan (Balai Riset dan Standardisasi) Aceh terhadap sampel yang diambil dari saluran PLTU Nagan Raya, terungkap bahwa air di saluran pembuangan warga terdapat penggunaan zat kimia," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Nagan Raya, Teuku Hidayat di Suka Makmue, Nagan Raya, Aceh.
Mengenai potensi penggunaan FABA sebagai campuran semen, beberapa penelitian sudah menunjukan potensi bahaya Leaching logam berat dari berbagai penggunaan FABA pada semen. Du dkk (2018) menemukan potensi emisi merkuri dari penggunaan semen yang di campur FABA sangat signifikan dan berbanding lurus dengan temperatur maupun kelembaban yang tinggi.
Jadi, keputusan presiden dengan mengeluarkan FABA sebagai limbah B3 itu adalah keputusan yang salah.
Presiden Jokowi harus segera mencabut kebijakan yang menghapus FABA sebagai Limbah B3 lewat Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.