Keanekaragaman Jenis Satwa liar di Empat Cluster
Keanekaragaman jenis satwa liar yang terdapat di Cluster Desa Baru, Desa Gedang, Desa Jernih Jaya dan Desa Talang Kemuning ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, indeks keanekaragaman jenis pada mamalia di Cluster Desa Baru adalah 2.013, Cluster Desa Gedang adalah 2.136, Cluster Desa Jernih Jaya adalah 1.662, dan Cluster Desa Talang Kemuning adalah 1.674. Indeks keanekaragaman jenis pada herpetofauna di Cluster Desa Baru adalah 1.413, Cluster Desa Gedang adalah 1.714, Cluster Desa Jernih Jaya adalah 1.438, dan Cluster Desa Talang Kemuning adalah 1.234. Indeks keanekaragaman jenis pada aves (burung) di Cluster Desa Baru adalah 1.706, Cluster Desa Gedang adalah 1.641, Cluster Desa Jernih Jaya adalah 2.408, dan Cluster Desa Talang Kemuning adalah 2.451.
Melalui hasil tersebut, dapat diketahui bahwa keanekaragaman jenis mamalia yang ditemukan pada ke-empat cluster di empat desa tersebut tergolong sedang karena nilai indeks yang diperoleh termasuk dalam rentang nilai 1 sampai dengan 3 menurut klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wieners. Walaupun nilai indeks keanekaragaman jenis di empat cluster desa tersebut tergolong sedang, namun ada perbedaan nilai indeks yang cukup signifikan antara nilai indeks keanekaragaman jenis mamalia dan burung di Cluster Desa Baru dan Desa Gedang di Kabupaten Merangin dengan nilai indeks keanekaragaman jenis di Cluster Desa Jernih Jaya dan Desa Talang Kemuning di Kabupaten Kerinci. Nilai indeks keanekaragaman jenis mamalia di Cluster Merangin lebih besar dibandingkan dengan nilai indeks keanekaragaman jenis mamalia di Cluster Kerinci. Sebaliknya, nilai indeks keanekaragaman jenis burung di Cluster Merangin lebih kecil dibandingkan dengan nilai indeks keanekaragaman jenis burung di Cluster Kerinci. Perbedaan nilai indeks keanekaragaman jenis tersebut disebabkan karena faktor tutupan lahan pada wilayah cluster di kedua kabupaten tersebut berbeda. Tutupan lahan di wilayah Cluster Merangin tergolong cukup baik yaitu sebesar 80% sehingga mampu menjadi habitat yang baik bagi mamalia, sedangkan tutupan lahan di wilayah Cluster Kerinci tidak sebaik tutupan lahan di wilayah Cluster Merangin yaitu hanya sebesar 65% sehingga kurang dapat menyediakan habitat yang dibutuhkan oleh mamalia. Tutupan lahan juga berpengaruh pada burung. Keterbukaan tajuk mempengaruhi banyaknya jenis burung yang ditemukan, semakin terbuka tutupan tajuknya maka semakin banyak burung yang akan ditemukan jika dibandingkan dengan habitat yang memiliki tutupan tajuk rapat dan tertutup (Wisnubudi 2009). Hal ini sejalan dengan data yang ditemukan di lapangan karena indeks keanekaragaman jenis burung pada wilayah Cluster Kerinci memiliki tutupan lahan yang lebih terbuka dibandingkan dengan Cluster Merangin sehingga lebih banyak jenis burung yang ditemukan.
Menurut Hasan (2017) jumlah jenis burung yang ditemukan pada areal persawahan dan perkebunan warga lebih banyak dibandingkan dengan Tamnge (2013) yang menemukan jenis burung lebih sedikit pada habitat perkebunan yang didominasi tanaman Cengkeh dan Pala di Pulau Ternate. Sedangkan Syafrudin (2011) menemukan lebih banyak jenis burung pada habitat perkebunan dengan adanya tanaman kopi dan cokelat di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Lampung. Perbedaan ini diduga karena kondisi habitat yang berbeda pada setiap areal studi. Menurut Hasan (2017), lokasi areal hutan yang merupakan daerah inti kawasan ternyata memiliki jumlah jenis dan jumlah individu yang lebih sedikit, hal ini bisa terjadi karena kondisi hutan yang merupakan hutan homogen sehingga vegetasinya kurang beragam yang berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung di dalamnya. Kondisi areal hutan yang memiliki tutupan tajuk yang rapat dan tinggi juga mempengaruhi keanekaragaman jenis burung.
Penemuan jenis burung berkaitan dengan kondisi habitatnya. Setiap habitat memiliki karakteristik yang berbeda tergantung pada kondisi lingkungan dan factor yang mempengaruhinya sehingga berpengaruh pada keanekaragaman jenis burung didalamnya. Distribusi vertikal dari dedaunan atau stratifikasi tajuk merupakan factor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis burung. Areal perkebunan, semak belukar dan hutan memiliki habitat yang ditumbuhi tumbuhan yang berbeda-beda. Tumbuhan yang ada di areal perkebunan dan semak terbuka diduga dapat memenuhi pakan, cover, maupun untuk tempat bertengger yang lebih terbuka bagi burung sehingga burung banyak ditemukan di areal terbuka. Tingginya keanekaragaman jenis burung pada suatu habitat dipengaruhi ketersediaan pakan pada habitat tersebut. Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis burung pada suatu habitat (Priatna 2002). Keanekaragaman jenis vegetasi yang terdapat pada suatu habitat mendukung ketersediaan pakan bagi burung, sehingga dengan beragamnya jenis vegetasi maka burung akan mendapatkan pilihan yang lebih banyak untuk memilih jenis pakan (Tews et al. 2004).
Burung dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan maupun habitat bukan hutan seperti areal perkebunan, areal pertanian, pekarangan, goa, padang rumput, savana dan habitat perairan. Secara umum, burung memanfaatkan habitat tersebut sebagai tempat mencari makan, beraktifitas, berkembangbiak dan berlindung. Burung dapat menjadi indikator yang baik bagi keanekaragaman hayati dan perubahan lingkungan (Bibby et al. 2000 dalam Anugrah 2016). Hal tersebut disebabkan karena burung terdapat hampir di seluruh habitat daratan pada permukaan bumi dan bersifat sensitif terhadap kerusakan lingkungan. Penggunaan burung sebagai indikator nilai keanekaragaman hayati merupakan salah satu jalan tengah yang terbaik antara kebutuhan informasi ilmiah yang akurat dengan keterbatasan waktu yang ada bagi aksi konservasi (Primack et al. 1998 dalam Anugrah 2016).
Menurut Alikodra (2002) tingginya keanekaragaman jenis satwa liar di suatu wilayah didukung oleh tingginya keanekaragaman habitat karena habitat bagi satwa liar secara umum berfungsi sebagai tempat untuk mencari makan, minum, istirahat dan berkembang biak. Namun dengan adanya fragmentasi habitat berdampak pada menurunnya keanekaragaman habitat, seperti adanya pemanfaatan lahan oleh manusia dengan peruntukan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang akan berdampak pula pada keanekaragaman jenis burung didalamnya. Perbedaan kondisi habitat akan berpengaruh terhadap keanekaragaman dan komposisi jenis satwa liar.
Kekayaan Jenis Satwa Liar di Empat Cluster
Indeks kekayaan jenis Margalef sangat dipengaruhi oleh jumlah total individu yang ditemukan pada suatu areal tertentu. Peningkatan jumlah jenis akan menyebabkan indeks nilai Margalef semakin tinggi. Apabila jumlah individu setiap jenis yang
meningkat akan menyebabkan nilai indeks Margalef semakin menurun (Ervina 2017). Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, ditemukan 10 jenis mamalia di masing-masing Cluster Desa Baru dan Desa Gedang, dengan nilai indeks kekayaan jenis di Cluster Desa Baru sebesar 2.552 dan nilai indeks kekayaan jenis di Cluster Desa Gedang sebesar 2.597. Sedangkan pada Cluster Desa Jernih Jaya ditemukan 7 jenis mamalia dengan nilai indeks kekayaan jenis sebesar 1.914 dan pada Cluster Desa Talang Kemuning ditemukan 8 jenis mamalia dengan nilai indeks kekayaan jenis sebesar 2.079.
Pada kelas herpetofauna di Cluster Desa Baru, Desa Jernih Jaya dan Desa Talang Kemuning ditemukan sebanyak 5 jenis herpetofauna pada masing-masing cluster dengan nilai indeks kekayaan jenis di Cluster Desa Baru sebesar 1.559, Cluster Desa Jernih Jaya sebesar 1.176, dan Cluster Desa Talang Kemuning sebesar 1.610, sedangkan pada Cluster Desa Gedang ditemukan 7 jenis herpetofauna dengan nilai indeks kekayaan jenis sebesar 2.216.
Pada kelas aves ditemukan 12 jenis burung di Cluster Desa Baru dengan nilai indeks kekayaan jenis di Cluster Desa Baru sebesar 2.271. Pada Cluster Desa Gedang ditemukan 13 jenis burung dengan nilai indeks kekayaan jenis sebesar 2.473, pada Cluster Desa Jernih Jaya ditemukan 18 jenis burung dengan nilai indeks kekayaan jenis sebesar 3.778, dan pada Cluster Desa Talang Kemuning ditemukan 14 jenis burung dengan nilai indeks kekayaan jenis sebesar adalah 3.822. Perbedaan kekayaan spesies satwa liar di empat cluster diduga disebabkan oleh perbedaan kondisi habitat pada masing-masing cluster meliputi sumber pakan, air, tempat berlindung, kerapatan pohon dan dominasi manusia.
Kemerataan Jenis Satwa Liar di Empat Cluster
Nilai indeks kemerataan jenis dapat digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi diantara tiap jenis dalam komunitas. Saat tiap jenis memiliki jumlah individu yang sama-sama berlimpah akan menyebabkan diperolehnya nilai indeks kemerataan maksimum (E=1). Nilai indeks kemerataan jenis berkisar antara nol sampai dengan satu. Nilai indeks kemerataan mendekati satu menunjukkan bahwa spesies yang terdapat dalam suatu komunitas semakin merata, sementara apabila nilai indeks kemerataan mendekati nol menunjukkan ketidakmerataan spesies dalam komunitas tersebut (Ludwig & Reynolds 1988 dalam Ervina 2017).
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, indeks kemerataan jenis pada mamalia di Cluster Desa Baru adalah 0.874, Cluster Desa Gedang adalah 0.928, Cluster Desa Jernih Jaya adalah 0.854, dan Cluster Desa Talang Kemuning adalah 0.805. Indeks kemerataan jenis pada herpetofauna di Cluster Desa Baru adalah 0.878, Cluster Desa Gedang adalah 0.881, Cluster Desa Jernih Jaya adalah 0.894, dan Cluster Desa Talang Kemuning adalah 0.767. Indeks kemerataan jenis pada aves (burung) di Cluster Desa Baru adalah 0.686, Cluster Desa Gedang adalah 0.640, Cluster Desa Jernih Jaya adalah 0.833, dan Cluster Desa Talang Kemuning adalah 0.929. Nilai indeks kemerataan jenis yang diperoleh di empat cluster mendekati angka satu, sehingga diketahui bahwa sebaran jenis satwa liar yang ada di empat cluster relative merata. Hal ini disebabkan karena adanya kesesuaian daya dukung habitat untuk jenisjenis satwa liar yang ditemukan pada ke- empat cluster tersebut sehingga tidak ada jenis
yang mendominasi.
Kelimpahan Jenis Satwa Liar di Empat Cluster
Kelimpahan jenis suatu spesies sangat dipengaruhi oleh daya dukung habitat yang sesuai dengan habitat asli spesies tersebut. Daya dukung habitat meliputi sumber pakan, air dan tempat berlindung. Dalam hidupnya, masing-masing jenis satwa liar mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda, namun pada umumnya kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan pakan/satwa mangsa, air dan tempat berlindung dari panas dan pemangsa serta tempat untuk bersarang/berkembangbiak, berburu, beristirahat dan memelihara anaknya. Seluruh kebutuhan tersebut diperoleh dari lingkungan atau habitat dimana satwa liar hidup dan berkembang biak. Dilihat dari komposisinya di alam, habitat satwa liar terdiri dari tiga komponen utama yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu (1) komponen biotik meliputi vegetasi, satwa liar dan organisme mikro, (2) komponen fisik meliputi air, tanah, iklim, dan topografi, serta (3) komponen kimia, meliputi seluruh unsur kimia yang terkandung dalam komponen biotik maupun komponen fisik. Secara fungsional, seluruh komponen habitat di atas menyediakan pakan, air dan tempat berlindung bagi satwa liar. Jumlah dan kualitas ketiga sumber daya fungsional tersebut akan membatasi kemampuan habitat untuk mendukung populasi satwa liar. Komponen fisik habitat (iklim, topografi, tanah dan air) akan menentukan kondisi fisik habitat yang merupakan faktor pembatas bagi ketersediaan
komponen biotik di habitat tersebut. Di lingkungan dengan kondisi fisik yang ekstrim, aktivitas biologi relatif kurang berkembang, sedangkan di lingkungan yang kondisi fisik yang sesuai, interaksi dalam ekosistem, habitat secara efektif akan membatasi pertumbuhan populasi satwa liar. Suatu habitat yang digemari oleh suatu jenis satwa belum tentu sesuai untuk kehidupan jenis satwa yang lain karena pada dasarnya setiap jenis satwa memiliki preferensi habitat yang berbeda-beda.
Indeks kelimpahan jenis mamalia yang paling tinggi di Cluster Desa Baru dimiliki oleh Beruk (Macaca nemestrina) sebesar 29% dengan jumlah individu sebanyak 10 individu. Pada Cluster Desa Gedang indeks kelimpahan jenis tertinggi dimiliki oleh dua spesies yaitu Babi hutan (Sus scrofa) dan Musang leher kuning (Martes flavigula) sebesar 19% dengan jumlah individu setiap spesies sebanyak 6 individu. Pada Cluster Desa Jernih Jaya indeks kelimpahan jenis tertinggi dimiliki oleh Babi hutan (Sus scrofa) sebesar 39% dengan jumlah individu sebanyak 9 individu. Pada Cluster Desa Talang Kemuning indeks kelimpahan jenis tertinggi dimiliki oleh Rusa sambar (Cervus unicolor) sebesar 34% dengan jumlah individu sebanyak 10 individu.
Indeks kelimpahan jenis herpetofauna yang paling tinggi di Cluster Desa Baru dimiliki oleh Kadal serasah coklat (Eutropis rudis) sebesar 38% dengan jumlah individu sebanyak 5 individu. Pada Cluster Desa Gedang indeks kelimpahan jenis tertinggi dimiliki oleh Katak sawah (Fejervarya cancrivora) sebesar 40% dengan jumlah individu sebanyak 6 individu. Pada Cluster Desa Jernih Jaya indeks kelimpahan jenis tertinggi dimiliki oleh Kodok jam pasir (Leptophryne borbonica) sebesar 37% dengan jumlah individu sebanyak 11 individu. Pada Cluster Desa Talang Kemuning indeks kelimpahan jenis tertinggi dimiliki oleh Katak sawah (Fejervarya cancrivora) sebesar 58% dengan jumlah individu sebanyak 7 individu.
Herpetofauna menyukai daerah yang lembab. Amfibi memerlukan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar 1998 dalam Subeno 2018) sedangkan reptil membutuhkan sumber panas dari luar tubuhnya untuk meningkatkan suhu tubuh agar dapat beraktivitas secara normal. Untuk meningkatkan suhu tubuh hingga mencapai suhu yang sesuai, biasanya reptil berjemur di bawah sinar matahari atau menyerap panas dari permukaan batu atau tanah yang hangat. Sebaliknya untuk menurunkan suhu tubuhnya atau mengatur suhu tubuhnya agar tetap optimum, reptil biasanya berlindung di bawah naungan atau mengubah bentuk tubuhnya untuk mengurangi penguapan. Regulasi suhu tubuh tersebut sangat ideal bagi reptil yang hidup di daerah tropik namun sangat tidak menguntungkan bagi reptil di daerah dingin (Ario 2010). Penyebaran amfibi dan reptil sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari yang mencapai daerah tersebut (Halliday & Adler 2000 dalam Subeno 2018). Menurut Greenberg (1978) dalam Subeno (2018), kehadiran herpetofauna umumnya dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas cahaya yang berhubungan dengan temperatur lingkungan. Respon herpetofauna terhadap temperatur lingkungan cenderung pasif, dimana herpetofauna akan selalu aktif selama kondisi intensitas cahaya memungkinkan (Kurniati 2006). Keberadaan herpetofauna memegang peranan penting dalam ekosistem. Herpetofauna merupakan salah satu bagian dari rantai makanan dan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator lingkungan serta keberadaannya sangat penting sebagai penyokong diversitas fauna yang ada di suatu wilayah. Mengingat sebagian besar wilayah yang sudah mengalami konversi menjadi lahan pertanian akan sangat mempengaruhi keberadaan fauna yang ada di sana. Masih terbatasnya informasi tentang herpetofauna yang ada di wilayah cluster pada empat desa membutuhkan perhatian yang lebih, khususnya penelitian yang menyajikan data dan informasi jenis, keanekaragaman dan sebaran dari herpetofauna serta ekologi habitat herpetofauna beserta perubahann habitat yang terjadi. Semakin banyak data tentang herpetofauna dan perubahan kondisi habitat yang dapat dihimpun maka akan semakin mendukung dan memberikan informasi terkait herpetofauna yang bisa digunakan oleh banyak pihak (Subeno 2018).
Indeks kelimpahan jenis aves yang paling tinggi di Cluster Desa Baru dimiliki oleh Anis seberia (Geokichla sibirica) sebesar 31% dengan jumlah individu sebanyak 50 individu. Pada Cluster Desa Gedang indeks kelimpahan jenis tertinggi dimiliki oleh Anis kuning (Turdus obscurus) sebesar 39% dengan jumlah individu sebanyak 50 individu. Pada Cluster Desa Jernih Jaya indeks kelimpahan jenis tertinggi dimiliki oleh Anis kuning (Turdus obscurus) sebesar 33% dengan jumlah individu sebanyak 30 individu. Pada Cluster Desa Talang Kemuning indeks kelimpahan jenis tertinggi dimiliki oleh Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) sebesar 17% dengan jumlah individu sebanyak 5 individu. Melalui hasil analisis data, jenis burung Anis seberia (Geokichla sibirica) dan Anis kuning (Turdus obscurus) memiliki jumlah individu yang sangat berlimpah sehingga menjadi jenis burung yang dominan di habitat tersebut. Dominansi suatu jenis burung didukung oleh kecocokan burung tersebut terhadap ekosistemnya sebagai bagian dari habitatnya dan kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya. Menurut Wisnubudi (2009) burung memerlukan syarat-syarat tertentu untuk terus mendukung kehidupannya, antara lain adalah kondisi habitat yang cocok dan aman dari segala macam gangguan. Jenis burung yang sering tercatat atau ditemukan pada saat pengamatan menunjukkan bahwa jenis burung tersebut mudah atau umum dijumpai pada habitat tersebut atau keberadaannya cukup dominan.